[Sunda] Gema Hening dari Tanah Parahyangan
Parahyangan, tanah yang dipercaya sebagai tempat para hyang bersemayam. Gunung-gunung menjulang di sana, tidak sekadar batu dan tanah, melainkan pilar-pilar kosmik yang menghubungkan bumi dengan langit. Kabut yang turun di pagi hari, embun yang menempel di pucuk daun teh, dan aliran sungai yang jernih bukan hanya bagian dari alam, melainkan gema hening yang terus bergetar dalam jiwa orang Sunda.
Buku ketiga dari seri Peta Jiwa Nusantara ini berjudul Gema Hening dari Tanah Parahyangan. Di sini kita akan menyelami warisan batin dari tanah Pasundan, sebuah kebijaksanaan yang sunyi, tidak selalu diucapkan dengan kata, tetapi dihidupi dalam sikap, dalam cara mereka menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Bab pertama mengajak kita menatap gunung sebagai simbol kekuatan dan keteguhan, bukan hanya dalam lanskap geografis, tetapi juga dalam lanskap batin. Bab kedua membukakan rahasia Tri Tangtu, falsafah tiga keseimbangan yang menata kehidupan masyarakat Sunda agar tidak terjebak pada ekstrem. Bab ketiga menyingkap tradisi ngalap berkah, sebuah cara untuk merendahkan hati dan menyadari bahwa rezeki sejati datang dari keharmonisan dengan semesta. Dan pada akhirnya, bab keempat mengajak kita memahami bagaimana keseimbangan jiwa dengan alam adalah inti dari kesadaran Sunda, sebuah ajaran bahwa manusia tidak boleh menjadi pusat, melainkan bagian dari harmoni yang lebih besar.
Jika dalam buku pertama kita menapaki jalan hening Jawa menuju manunggaling kawula gusti, dan dalam buku kedua kita menyelami tarian energi Bali yang menjaga keseimbangan dunia, maka dalam buku ketiga ini kita belajar mendengarkan gema hening Sunda—sebuah nada lembut yang mengingatkan kita bahwa diam pun bisa menjadi doa, bahwa kesunyian bisa lebih nyaring daripada seribu kata.
Bab 2 : Tri Tangtu, Sinergi Tiga Alam
Bab 3: Ngalap Berkah di Mata Air & Pohon Tua
Bab 4 : Jejak Spiritual yang Melampaui Batas
Bab pertama mengajak kita menatap gunung sebagai simbol kekuatan dan keteguhan, bukan hanya dalam lanskap geografis, tetapi juga dalam lanskap batin. Bab kedua membukakan rahasia Tri Tangtu, falsafah tiga keseimbangan yang menata kehidupan masyarakat Sunda agar tidak terjebak pada ekstrem. Bab ketiga menyingkap tradisi ngalap berkah, sebuah cara untuk merendahkan hati dan menyadari bahwa rezeki sejati datang dari keharmonisan dengan semesta. Dan pada akhirnya, bab keempat mengajak kita memahami bagaimana keseimbangan jiwa dengan alam adalah inti dari kesadaran Sunda, sebuah ajaran bahwa manusia tidak boleh menjadi pusat, melainkan bagian dari harmoni yang lebih besar.
Jika dalam buku pertama kita menapaki jalan hening Jawa menuju manunggaling kawula gusti, dan dalam buku kedua kita menyelami tarian energi Bali yang menjaga keseimbangan dunia, maka dalam buku ketiga ini kita belajar mendengarkan gema hening Sunda—sebuah nada lembut yang mengingatkan kita bahwa diam pun bisa menjadi doa, bahwa kesunyian bisa lebih nyaring daripada seribu kata.
Daftar Isi
Bab 1 : Gunung sebagai Pusat Spiritual- Gunung sebagai Axis Mundi
- Simbolisme Pendakian: Perjalanan ke Dalam
- Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Ciremai
- Gunung sebagai Portal Spiritual
- Penutup: Puncak yang Menggenggam Jiwa
Bab 2 : Tri Tangtu, Sinergi Tiga Alam
- Tiga Benang Emas yang Mengikat Kehidupan
- Rama: Benang yang Menyambungkan ke Langit
- Ratu: Benang yang Merentang di Antara Sesama
- Resi: Benang yang Menyatu dengan Nafas Alam
- Harmoni Tiga Benang
Bab 3: Ngalap Berkah di Mata Air & Pohon Tua
- Alam sebagai Sang Guru Sunyi
- Titik Akupunktur Bumi
- Pertukaran Energi yang Hening
- Alam Bukan Sumber Daya, Melainkan Jiwa
- Berkah yang Sesungguhnya
Bab 4 : Jejak Spiritual yang Melampaui Batas
- Gunung dan Pohon sebagai Candi yang Hidup
- Kesamaan yang Tak Pernah Disepakati, Namun Selalu Ada
- Roh Alam: Bahasa yang Dipahami Semua Jiwa
- Benang Merah yang Mengikat Kemanusiaan
- Penutup
Paket Eksklusif 5 + 2